Banalitas dalam Arus Globalisasi

Banalitas dalam Arus Globalisasi
Da spatium tenuemque moram, male cuncta ministrant impetus.” (berilah ruang, kelapangan, dan jeda; yang serba tergesa-gesa menyebabkan semuanya menjadi buruk) – pepatah Latin.

***

Di jaman serba instan di mana dunia nampak tergopoh-gopoh, melatih kebiasaan berpikir secara mendasar dan menghargai proses malah terlihat renta, tidak relevan dan ketinggalan jaman. Kiat-kiat praktis marak dipasarkan (supply) lantaran itu yang diminta orang (demand), walau tanpa disadari hidup yang digantungkan hanya pada kiat-kiat praktis pada gilirannya bakalan menjadi tidak praktis lagi nantinya. Banalitas adalah realitas kontemporer.

Metode pemecahan masalah yang hanya menyisir tepian masalah (periferal) tanpa pernah menukik ke kedalaman (hakekat) segala sesuatu, pada galibnya tidaklah memahami masalah yang sesungguhnya alih-alih menyelesaikannya. Ia cuma menghilangkan symptom sakit kepala, tanpa sadar bahwa akar masalahnya ada di kanker yang perlu dibedah tuntas.

Objek pemikiran memang tidak pernah sederhana, maka “Dalam rangka untuk mengenal benar-benar obyek semacam itu, seseorang harus dengan rajin memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, dan selalu melihat serta menganalisis obyek tersebut dari berbagai-bagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir.” (J.M. Bochenski, 1972).

***

“Ekonomi-global” adalah realitas sosial kontemporer, sedangkan “globalisasi-ekonomi” adalah programa sistematis gerakan neoliberal. Dua konsep yang kedengarannya mirip tapi hakekatnya berbeda. Para pemasar yang berasal dari perusahaan nasional dan yang tergabung dalam perusahaan multinasional tentu punya paradigma berbeda meski keduanya sama-sama orang Indonesia. Struktur sosial di mana kedua agensi itu beroperasi berbeda, meskipun keduanya berada di satu negara yang sama. Globalisasi telah mengikis batas demarkasi teritori bangsa.

Baiklah disadari bahwa ketika sistem perekonomian suatu bangsa terintegrasi dengan pasar global, maka ia tidak lagi steril terhadap pengaruh maupun kepentingan politik dan ekonomi eksternal. Prof. Dr. Budi Winarno (bukunya: Globalisasi, Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, 2008) dengan mengutip Geofrey Garret (Global Markets and National Politics, 2000) menyebutkan tiga mekanisme bagaimana pengaruh eksternal itu berdampak pada ekonomi nasional, yakni: 1) tekanan perdagangan yang semakin kompetitif, 2) multinasionalisasi produksi, dan 3) integrasi pasar keuangan.

Mekanisme pertama, intensitas kompetisi perdagangan yang semakin meningkat adalah unsur pokok dari tesis globalisasi konvensional. Meskipun tesis meningginya intensitas perdagangan ini sudah diterima umum, sesungguhnya kompetisi global yang terjadi bukan hanya isu perdagangan, tapi juga soal memperebutkan investasi. MNC (multi-national corporations) dan global investment capital hanya akan mengalir ke wilayah yang menguntungkan (buat mereka) dan menawarkan (kepada mereka) insentif terbaik.

Kedua, multinasionalisasi produksi. Termasuk di dalamnya resiko (ancaman) MNC yang dengan mudah bisa memindahkan lokasi produksi dari satu negara ke negara lain (dalam rangka optimalisasi profitabilitas, return on investment). Dalam konteks ekonomi global ini, pembedaan antara “kita” dan “mereka” tidak lagi terjadi antar-negara, tetapi lebih bersifat antar-warganegara dan MNC yang beroperasi di dalamnya, terlepas dari/di negara mana mereka berdiri. Konsekuensi bagi pemerintah adalah aplikasi kebijakan pasar bebas, sebagai prasyarat memenangkan kompetisi menggaet investasi MNC demi membuka lapangan kerja.

Ketiga, integrasi pasar finansial global. Pasar dunia semakin terkoneksi dan terintegrasi satu sama lain. Akibatnya – seperti kita ketahui dan alami bersama – gejolak mata uang (dan ekonomi) di suatu negara akan mengimbas ke lain wilayah. Bencana sub-prime mortgage di AS sampai terjadinya krisis ekonomi dunia saat ini adalah verifikasi interdependensi ekonomi global.

Akhirnya disimpulkan bahwa globalisasi berwajah plural dan tidak bisa dilihat secara fragmentaris. Sebagai sebuah fenomena sosial, ekonomi dan politik, globalisasi membawa hal positif sekaligus negatif, peluang sekaligus ancaman.

Untuk menyikapi globalisasi secara adekuat niscaya dibutuhkan daya kritis yang tidak menggampangkan persoalan hanya dengan kiat-kiat manajemen praktis semata. Dibutuhkan reformasi cara berpikir dan cara bertindak. Yang jelas, banalitas bukanlah rutenya.

...dst.


Artikel Oleh: Andre Vincent Wenas
Sumber: Majalah MARKETING

0 komentar:

Posting Komentar

Search

Statistik

My Ping in TotalPing.com